Generasi Barang Jadi
Sebelum membaca post ini, ada baiknya jika akang, jeneungan, ledis en jentelmen membaca terlebih dulu post sebelumnya yang berjudul Etos Kerja dan Etos Hasil, karena seperti saiia sabdakan sebelumnya bahwa ini adalah trilogy yang gag bisa di maen-putus gtu ajja... huehehehe... what ever!!!
Bahwa krisis tersebut menyebabkan anak-anak muda kita punya sikap mental konsumtif -itu sudah lama kita ketahui bersama. Tapi yang gag kita insyafi barangkali adalah detail dari dimensi-dimensi intrinsik sikap mental konsumtif tersebut: menyangkut bertumbuhnya kecenderungan tertentu dalam soal etos kerja, etos hasil yang sering kali memaksa kita untuk berpikir lebih kompleks ketika menyelenggarakan usaha-usaha pembangunan masyarakat.
Masalah ini lebih ruwed dari yang sering dicoba atasi secara parsial dan sporadis dengan acuan-acuan 'kemauan berwiraswasta', 'penanggulangan kenakalan remaja', 'pengarahan dan penataran', atau apalagi igauan-igauan nasional kita tentang 'ketahanan nasional mental spiritual' atau 'segera kita taking off menuju masyarakat adil makmur, masyarakat madani dan seterusnya dan seterusnya.
Anak-anak muda kita dewasa ini dibesarkan oleh suatu iklim lingkungan yang sangat mendorong mereka untuk ingin cepat-cepat menikmati hasil. Yang disebut hasil, juga dipersempit pada pemilikan materialistik.
Kerja bagi mereka (sadar atau gag sadar) benar-benar hanya suatu cara untuk mencapai hasil. Maksud saiia, yang mereka cintai hanya hasil. Mereka gag sekaligus mencintai kerja tersebut, maka kalau ada kemungkinan mereka bisa menikmati 'hasil' tanpa kerja apa-apa, maka jadilah.
Semangadhhh melakukan suatu pekerjaan, proses mencintai dan mengakrabi pekerjaan yang baik, kenikmatan ruhani selama mengerjakan sesuatu, gag pernah dihitung sebagai suatu hasil. Impian-impian mereka terutama hanya di sekitar enjoying konsumsi-konsumsi. Ini termasuk sikap mereka terhadap sekolah: yang utama bukan usaha mencintai proses mencari ilmu, tapi semata-mata memfungsikan status sekolah untuk investasi kerja, artinya untuk investasi hasil. Selesai sekolah, mereka dapat hasil satu: status. Kemudian masuk kerja untuk hasil yang lain: kekayaan. Ini rumus pokok karakter kesejahteraan masa kini kita.
Kita hanya siap menerima hasil. Dan kalau bisa muati cepat-cepat. Maka, dengan sekolah yang penting ijazah. Kalau kerja, gampang korupsi. Kalau gag kerja, gampang, jadi gali atawa jambreddd. Kita hanya siap menerima barang jadi.
Stay alive doods... keep a hard rockin' days for the latest one! :p
Bahwa krisis tersebut menyebabkan anak-anak muda kita punya sikap mental konsumtif -itu sudah lama kita ketahui bersama. Tapi yang gag kita insyafi barangkali adalah detail dari dimensi-dimensi intrinsik sikap mental konsumtif tersebut: menyangkut bertumbuhnya kecenderungan tertentu dalam soal etos kerja, etos hasil yang sering kali memaksa kita untuk berpikir lebih kompleks ketika menyelenggarakan usaha-usaha pembangunan masyarakat.
Masalah ini lebih ruwed dari yang sering dicoba atasi secara parsial dan sporadis dengan acuan-acuan 'kemauan berwiraswasta', 'penanggulangan kenakalan remaja', 'pengarahan dan penataran', atau apalagi igauan-igauan nasional kita tentang 'ketahanan nasional mental spiritual' atau 'segera kita taking off menuju masyarakat adil makmur, masyarakat madani dan seterusnya dan seterusnya.
Anak-anak muda kita dewasa ini dibesarkan oleh suatu iklim lingkungan yang sangat mendorong mereka untuk ingin cepat-cepat menikmati hasil. Yang disebut hasil, juga dipersempit pada pemilikan materialistik.
Kerja bagi mereka (sadar atau gag sadar) benar-benar hanya suatu cara untuk mencapai hasil. Maksud saiia, yang mereka cintai hanya hasil. Mereka gag sekaligus mencintai kerja tersebut, maka kalau ada kemungkinan mereka bisa menikmati 'hasil' tanpa kerja apa-apa, maka jadilah.
Semangadhhh melakukan suatu pekerjaan, proses mencintai dan mengakrabi pekerjaan yang baik, kenikmatan ruhani selama mengerjakan sesuatu, gag pernah dihitung sebagai suatu hasil. Impian-impian mereka terutama hanya di sekitar enjoying konsumsi-konsumsi. Ini termasuk sikap mereka terhadap sekolah: yang utama bukan usaha mencintai proses mencari ilmu, tapi semata-mata memfungsikan status sekolah untuk investasi kerja, artinya untuk investasi hasil. Selesai sekolah, mereka dapat hasil satu: status. Kemudian masuk kerja untuk hasil yang lain: kekayaan. Ini rumus pokok karakter kesejahteraan masa kini kita.
Kita hanya siap menerima hasil. Dan kalau bisa muati cepat-cepat. Maka, dengan sekolah yang penting ijazah. Kalau kerja, gampang korupsi. Kalau gag kerja, gampang, jadi gali atawa jambreddd. Kita hanya siap menerima barang jadi.
Stay alive doods... keep a hard rockin' days for the latest one! :p
Barang Jadi ?
BalasHapusNggak ada yang menolak Gen, kerja dikit hasil banyak. Tetapi mana mungkin.
Makanya jangan heran jika banyak tercebur ke cara-cara yang tidak baik, hanya demi mendapatkan hasil, bukan mencintai cara mendapatkan hasil.
Yak. "status". Maka tidak heran beberapa waktu lalu ada tayangan tentang ijazah kilat. Ini yang kedua ya.
BalasHapustrus...gmn donk cara tuk mencintai dan menikmati proses yang harus dilewati....???
BalasHapustapi...saya berusaha untuk mencintai dan menikamati CARA untuk dapatkan sesuatu..
KEEP SPIRIT DOODS...!!!
=]
ya sekarang semuanya UUD (ujung-ujungnya duit)
BalasHapustapi butuh juga si duit,,
iya nih.. beda banget sama anak-anak jaman dulu..
BalasHapussmg aj mb dpt duit dr review trus y :)
BalasHapussemua kembali ke pribadi masing2,kita termasuk kategori mana ? karena sesuatu itu pasti ada prosesnya, yg membedakan adalah waktunya :)
BalasHapusheheh kan sekarang harus serba cepat n simple gitu
BalasHapusberkunjung dan ditunggu kunjungan baliknya makasihhh :D
proses adl bagian terbaik dari hidup...
BalasHapusiya kang terkadang, cara instan banyak ditempuh, namun sebenarnya hal yang baik berusaha untuk menggapainya dan melakukannya dengan penuh rasa cinta agar hasilnya maksimal....btw met pagi kang..met beraktifitas.....
BalasHapuskita mmg ga bisa ingkar, dengan adanya sikap mental anak muda yang konsumtip serta berorientasi kepada hasil semata mata, kurang menghargai atas makna proses
BalasHapustapi kita juga ga bisa ingkar, bahwa kita berperan dalam terciptanya kondisi seperti itu, perubahan regulasi pendidikan, beratnya persaingan ketika merintis usaha dan ketidakberpihakan para pembesar akan nasib orang kecil.
*saya bingung Mas gen...kita ini masuk ke generasi yang mana ya??