Budaya Korup
Kekuatan Spanduk dan budaya korup
Pada poster-poster dan spanduk-spanduk, kita lebih mudah menemukan kemuliaan ketimbang dalam kenyataan. Pada spanduk tertuliskan 'satu orang satu pohon' artinya.. satu orang, harus menanam satu pohon, sebagai anjuran ekologi, tapi tetap di depan anjuran itu malah banyak saya melihat pohon-pohon ditebang. Di aneka spanduk, banyak ramai tawaran moral dijajakan. Di depan sebuah kantor lembaga penegakan hukum, gagah terpasang tekad penegakan hukum melawan koruptor, eeh.. di dalam kenyataan, ada hukum dirobohkan justru oleh penegak hukum dari kantor yang sama itu.
Intinya adalah, adanya tarikan kuat dari sana yang kita tidak memiliki apapun untuk menahannya di sini. KPK jelas tidak kuat untuk memerangi rantai kebudayaan semacam ini, KPK hanya kuat berperang ketika budaya korup tersebut sudah tidak lagi menjadi budaya, tradisi. Maka jika iklim baru tersebut benar-benar terjadi, siapa saja yang kedapatan korupsi akan menjadi musuh bersama.
Tetapi hingga sekarang ini, musuh bersama itu menjadi tidak ada. Perang melawan korupsi itu setara dengan perang melawan diri sendiri. Antara pihak yang memerangi maupun yang diperangi terkadang merupakan pihak yang sama. Kalaupun pihak tersebut berbeda, pergeserannya sedikit saja. Penegakan hukum akan bertemu dengan saudara, sahabat, tetangga, kolega, atasan, bawahan, teman satu angkatan, senior, adik kelas, kakak kelas, akan selalu seperti itu.
Dus berarti.. apa saja yang menjauhkan kita dari kenyataan, itulah pemicu budaya korupsi di dalam berbagai versi. Jadi.. spanduk-spanduk yang mulia hanya di tulisan itu sungguh harus diingatkan, karena ia makin menjauhkan kita dari kenyataan.
Pada poster-poster dan spanduk-spanduk, kita lebih mudah menemukan kemuliaan ketimbang dalam kenyataan. Pada spanduk tertuliskan 'satu orang satu pohon' artinya.. satu orang, harus menanam satu pohon, sebagai anjuran ekologi, tapi tetap di depan anjuran itu malah banyak saya melihat pohon-pohon ditebang. Di aneka spanduk, banyak ramai tawaran moral dijajakan. Di depan sebuah kantor lembaga penegakan hukum, gagah terpasang tekad penegakan hukum melawan koruptor, eeh.. di dalam kenyataan, ada hukum dirobohkan justru oleh penegak hukum dari kantor yang sama itu.
Di dalam spanduk, partai-partai politik mengajak memerangi korupsi, sejenak kemudian, kasus terlupa, terjadi malah di dalam dirinya sendiri. Seruan persatuan dideklarasikan, tetapi malah di dalam kenyataan, perpecahan mengalami penyuburan. Jangankan bersatu untuk negara, bersatu untuk sepak bola saja sulit, kerepotan setengah mati. Di jalan-jalan, orang harus berperang melawan iklan, konsumsi lebih dirangsang ketimbang produksi, maka tak sulit membayangkan nasib sebuah masyarakat yang dipaksa tinggi dalam konsumsi, tetap ketika masyarakat itu sedang rendah di dalam produksi. Maka akan larilah mereka kepada sebuah tradisi baru, bernama mental korup. Korupsi itu sebenarnya bukan mental induk, ia sekedar Budaya turunan. Entah kenapa meskipun KPK sudah tersedia, laku korupsi tetap merebak hingga kini. KPK yang didisain menakutkan itu, malah berkali-kali dikepung serangan dari segenap jurusan. Mengapa? Karena yang diperangi bukan sekedar koruptor, tetapi laku kebudayaan. | Jadi strategi memerangi korupsi tanpa memerangi sistem budayanya, akan menjadi perang yang panjang dan melelahkan. Ini mirip seperti perang Amerika di Vietnam itu, seperti perang Uni Soviet di Afganistan itu. Perang itu pada dasarnya tidak pernah selesai bahkan sampai hari ini. Sementara jejak lamanya belum hilang, jejak barunya malah terus bermunculan. Bernama teror dan kekerasan. Memerangi korupsi tanpa memerangi induk budayanya serupa dengan mengobati kanker dengan kerokan saja, hanya akan berhenti menangkapi oknum, tetapi apa yang disebut oknum itu telah menjadi siapa saja. Barangkali kita ini termasuk ada di dalamnya. Berikut sekedar skema sederhana tentang dari mana budaya korup itu antara lain bermula; jika anda naik jabatan misalnya, jumlah undangan yang mesti anda datangi akan berlipat, jumlah sumbangan yang akan anda keluarkan meningkat, gaji sungguh tidak memadai untuk menutup kebingungan sosial ini. Langkah berikutnya apa? Bisa kita tebak sendiri, karena hampir seluruh dari kita adalah pelaku soal ini. |
Kekuatan Spanduk dan budaya korupsi..
Intinya adalah, adanya tarikan kuat dari sana yang kita tidak memiliki apapun untuk menahannya di sini. KPK jelas tidak kuat untuk memerangi rantai kebudayaan semacam ini, KPK hanya kuat berperang ketika budaya korup tersebut sudah tidak lagi menjadi budaya, tradisi. Maka jika iklim baru tersebut benar-benar terjadi, siapa saja yang kedapatan korupsi akan menjadi musuh bersama.
Tetapi hingga sekarang ini, musuh bersama itu menjadi tidak ada. Perang melawan korupsi itu setara dengan perang melawan diri sendiri. Antara pihak yang memerangi maupun yang diperangi terkadang merupakan pihak yang sama. Kalaupun pihak tersebut berbeda, pergeserannya sedikit saja. Penegakan hukum akan bertemu dengan saudara, sahabat, tetangga, kolega, atasan, bawahan, teman satu angkatan, senior, adik kelas, kakak kelas, akan selalu seperti itu.
Dus berarti.. apa saja yang menjauhkan kita dari kenyataan, itulah pemicu budaya korupsi di dalam berbagai versi. Jadi.. spanduk-spanduk yang mulia hanya di tulisan itu sungguh harus diingatkan, karena ia makin menjauhkan kita dari kenyataan.
memerangi korup kayaknya sulit, mungkin membutuhkan beberapa generasi untuk meghilangkannya
BalasHapussemua yang sudah mentradisi emang sulit untuk dihilangkan, tapi tetap optimis kita bisa, mulai dari diri sendiri..:)
BalasHapusseperti pohon di potong batangnya percuma klw tidak sampai akarnya, pasti akan tumbuh kembli,,korup telah menyiksakan kita semua..
BalasHapuskunjungan gan... :)
BalasHapussalam kenal yaaa... makasih uda mampir
BalasHapussami-sami iia ;)
BalasHapus