Ketika A menuju Z
Kamu tahu...
Aku selalu terserang panik setiap kali teringat hanya denganmu aku bisa bicara lama tentang hal-hal yang biasa. Mungkin karena seringnya aku dianggap aneh atau malah gila, padahal aku hanya melihat segala dengan lebih perlahan dan mencari bagian istimewa dari semua yang sederhana.
Dahulu kala...
Sebutir mute kecil hilang dari kalung kesayangan dan aku mencari-cari ke seluruh penjuru kamar menggunaka kaca pembesar. Menemukannya satu jam kemudian di tengah karpet berbulu gelap, aku lega mute hitam itu terlihat dan masih mengilap. Lalu aku mulai sering menggunakan kaca pembesar itu dimana saja, tidak hanya untuk mencari mute tapi untuk melihat dunia.
Dan diam-diam berharap ada yang melihatku dengan cara yang sama. Berulang kali kecewa, tentu saja. Harapan yang terlalu tinggilah yang menyebabkan rasa nyeri. Tapi lalu mau apa, tak lagi mencoba? Berdiam diri tak lagi mencari? Tidak, tangisku selalu berhasil berhenti dan aku selalu berjalan lagi.
Dan bertemulah kita, di suatu halaman yang tampaknya normal-normal saja. Lima menit pertama kamu mengernyit menatapku, seperti juga aku mengernyit melihat mu. Lalu aku mengeluarkan kaca pembesar ku.
Pelan-pelan jidat ku tak lagi berkerut. Kaca pembesar sampai di wajah mu dan ku lihat kamu tersenyum lembut, jidat mu tak lagi berkerut. Kaca pembesar sampai di tangan mu dan ku mengerti senyum itu untuk apa. Jemari mu sedang menggenggam kaca pembesar juga. Melihat mute biasa yang jadi istimewa karena tak bisa dilihat kapan saja.
"L"
Aku selalu terserang panik setiap kali teringat hanya denganmu aku bisa bicara lama tentang hal-hal yang biasa. Mungkin karena seringnya aku dianggap aneh atau malah gila, padahal aku hanya melihat segala dengan lebih perlahan dan mencari bagian istimewa dari semua yang sederhana.
Dahulu kala...
Sebutir mute kecil hilang dari kalung kesayangan dan aku mencari-cari ke seluruh penjuru kamar menggunaka kaca pembesar. Menemukannya satu jam kemudian di tengah karpet berbulu gelap, aku lega mute hitam itu terlihat dan masih mengilap. Lalu aku mulai sering menggunakan kaca pembesar itu dimana saja, tidak hanya untuk mencari mute tapi untuk melihat dunia.
Dan diam-diam berharap ada yang melihatku dengan cara yang sama. Berulang kali kecewa, tentu saja. Harapan yang terlalu tinggilah yang menyebabkan rasa nyeri. Tapi lalu mau apa, tak lagi mencoba? Berdiam diri tak lagi mencari? Tidak, tangisku selalu berhasil berhenti dan aku selalu berjalan lagi.
Dan bertemulah kita, di suatu halaman yang tampaknya normal-normal saja. Lima menit pertama kamu mengernyit menatapku, seperti juga aku mengernyit melihat mu. Lalu aku mengeluarkan kaca pembesar ku.
Pelan-pelan jidat ku tak lagi berkerut. Kaca pembesar sampai di wajah mu dan ku lihat kamu tersenyum lembut, jidat mu tak lagi berkerut. Kaca pembesar sampai di tangan mu dan ku mengerti senyum itu untuk apa. Jemari mu sedang menggenggam kaca pembesar juga. Melihat mute biasa yang jadi istimewa karena tak bisa dilihat kapan saja.
"L"
0 comments:
D'APRÈS VOUS?